Kini rumah menjadi tempat terseram. Saat hanya bisa menyendiri dengan ketakutan maka rumah bukan lagi sebuah tujuan. Kesepian selalu datang di antara secercah harapan untuk keluar dari lingkaran. Untuk kesekian kalinya aku mencoba menyalahkan Tuhan atas hidupku yang menurutku kurang adil.


Kamu pernah merasa ingin bebas keluar dari rumah, sebab aku sering. I’m tired but I’m surviving, alone. Ketika yang lain hanya mencoba prihatin tapi aku yakin mereka tidak sungguh-sungguh, karena mereka mempunyai kehidupannya masing-masing. Lantas siapa yang harus aku salahkan?

Rumah yang sekarang bukan rumah yang sesungguhnya, rumah yang dulu bisa membuat nyaman meski dalam ketakutan. Perlahan kenyamanan itu menghilang dan mulai terasa dingin. Mimpiku sirnah, semangatku mengendur, dan kini tak jarang dengan tangisan aku menikmati malam.

Adakalanya aku tidak ingin adanya malam sebab pikiranku akan melayang jauh akan hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan menjelang pagipun aku masih berkutat dengan malam. Aku lelah harus membuat orang lain berpikir positif tentang hidupku, saat harus menyombongkan diri agar tidak terlihat kasihan. Namun pada akhirnya aku gagal untuk membuat mereka terkesan.

Harus menerima komentar negatif jika gagal berkali-kali dan rumah bukan lagi tempat untuk mengadu. Aku hanya bisa mengadu lewat tulisan. Melalui tulisan aku bisa bebas mengadu kapanpun dan di manapun namun alangkah baiknya jika rumah ada di pilihan utama.


No comments:

Post a Comment

Selamat membaca, kawan ^^